After The Show

Lima orang pria sedang berdiri selaras menatap panggung mewah di depan mereka. Meski sudah sering naik ke atas pentas serupa, tetapi kali berbeda bagi mereka. Karena ini adalah konser terakhir dari lima pria tersebut setelah semua kenangan manis maupun pahit yang telah mereka lewati bersama.

Keputusan sudah bulat sebelum panggung yang ditatap oleh ribuan mata ini berdiri. Mereka tak akan melanjutkan hidup sebagai musisi lagi, karena sebuah kehidupan baru telah menanti di penghujung acara. Ya, kehidupan yang lebih penting daripada menjadi idola setiap insan di dunia ini adalah penyebab band cadas itu harus segera menghilang dari dunia musik.

Tiap personil yakin akan jalan yang mereka pilih, Revan si pemain drum akan menjadi seorang penulis dan masuk ke dunia literasi. Axel akan menjalani hidupnya sebagai pengusaha yang bergelut pada bidang otomotif. Sementara Edward dan Theo akan mendapatkan kebebasan mereka dalam berbagi kasih dengan keluarga baru masing-masing. Teruntuk Nico sang vokalis, dia akhirnya menemukan dunianya sendiri. Dunia di mana dirinya bisa bebas dari kesibukan yang sering kali menyiksa batin dan fisiknya. Dunia itu berada di dalam hati seorang wanita bernama Tania, karena untuk pertama kali dalam hidup pria itu ada seorang gadis yang menganggap dirinya sebagai orang biasa.

Bukan sebagai bintang rock yang selalu hidup bergelimang harta, bukan pula sebagai pujangga yang meramu cinta dalam bait lagunya. Jadi, bisa hidup bersama dengan gadis yang tak memandang status akan siapa dia sebenarnya adalah hal terindah sepanjang masa.

"Satu lagu lagi dan semua ini akan berakhir, kita akhirnya bebas dari kutukan dunia pesohor yang kejam ini." Pernik mata Nico bergetar memandangi panggung terakhir mereka.

"Kau benar, ini adalah konser terakhir kita. Mari kita akhiri semuanya," sambung Revan yang tak sabaran.

"Nic, apa benar Taniamu datang malam ini?" Theo menempelkan kaleng bir yang baru saja dibawa oleh kru pada pipinya.

Lamunannya buyar sesaat kala rasa dingin dari minuman itu menyentuh wajah. Dia menoleh, lalu meraih paksa benda itu dari tangan Theo.

"Tentu saja dia datang, kalian tidak akan menyadarinya." Nico membuka penutup kaleng lalu meneguk hampir setengahnya.

"Benar kah? Lantas kenapa kau tak mengajak dia ke belakang panggung dan menontonmu dari sini? Bahkan setelah kalian menikah aku sama sekali tak pernah melihatnya lagi?" tanya Theo beruntun.

"Ada alasan untuk itu. Dia lebih suka menontonku di tengah-tengah keramaian dan ikut bernyanyi bersama para fans. Dan untuk pertanyaaan keduamu, dia itu istriku tentu saja aku harus menjauhkan dia dari para playboy seperti kalian!" cetusnya kesal.

"Dasar! Meski begini aku juga tidak akan mengambil istri temanku sendiri.” Theo menatap penuh kegelian.

"Tapi benar juga, setelah pernikahan kalian dua bulan lalu aku tidak pernah lagi melihatnya. Apa terjadi sesuatu diantara kalian?" Edward yang selesai menyetem gitarnya menghampiri mereka berdua.

"Tidak ada, meski ada sekalipun aku tidak akan menceritakannya pada kalian." Nico kembali menyeruput minumannya. "Kau pikir aku seperti mantan istrimu yang kabur dari rumah dan meninggalkan kau dan putrimu begitu saja." Tatap Nico dengan wajah meledek.

"Haha, kau benar. Aku iri padamu, Tania begitu menyayangimu dan rela hidup bersama pria tolol sepertimu." Tawa Edward pecah kali ini.

"Sudahlah, hentikan tawa kalian. Ayo kita akhiri ini semua." Axel datang dengan wajah yang berseri.

"Kau benar, ayo kita berangkat!" Nico berjalan pertama menaiki tangga kecil ke atas panggung.

Hatinya sudah tak sabar lagi untuk menyelesaikan lagu itu agar bisa merangkul hangat tubuh perempuan yang baru saja dia nikahi. Sedikit merapikan kerah baju kemeja dia berjalan menghampiri mikrofon di depan pentas.

Pendaran lampu panggung menyinari tubuh kurusnya saat mencoba meraih mik dari pegangan. Rambut ikal itu bergerak kala dia menatap Edward sang pimpinan grup. Setelah membetulkan tali gitarnya agar terasa nyaman pria bertato naga pada lengan itu balik menatap Nico.

"Leader, terimakasih atas semuanya. Aku berjanji ini akan menjadikan kita sebagai sebuah legenda." Nico berbicara dengan menjauhkan mik dari mulutnya.

Meski suara dari ribuan penonton tengah menggema ke seluruh ruangan, namun Edward bisa menangkap jelas apa yang Nico katakan. Dia mengepalkan tangan lalu mengarahkannya pada sang vokalis.

"Jadikan ini legenda!" perintahnya dengan berteriak sekeras mungkin.

Theo, Revan, dan Axel mengangguk menatap Nico yang merekahkan senyuman. Hatinya memompa sedikit lebih cepat, memaksa untuk meluapkan kegirangan dengan lagu terakhir ini. Sedikit mengulur tali mikrofon dia berjalan menghampiri para penonton yang sudah menggila sedari tadi.

"Baiklah semuanya, apa kalian sudah siap untuk berjingkrak-jingkrak lagi?" pekiknya sekeras mungkin. Membuat semua orang yang mengelilingi histeris.

"Ini adalah lagu terakhir dari kami. Seperti yang kalian dengar, After Rock akan dibubarkan setelah konser ini berakhir. Aku senang berada dalam band ini, aku mencintai bandku, teman-temanku, para fans, dan kalian yang hadir malam ini. Tapi, tanpa aku sadari ada cinta lain yang ternyata lebih besar dari cintaku pada kalian semua. Ya, cinta itu datang dari seorang bidadari yang kini sedang berdiri di antara kalian. Oleh karena itu, aku menciptakan lagu ini untuk dirinya." Nico terlalu bersemangat sampai-sampai bicara terlalu banyak. Namun teman-temannya mengerti apa yang dia rasakan, jadi mereka tak mempermasalahkan hal itu.

"Taniaku, lagu ini untukmu .... Sparkle." Dia menyebutkan judul lagu tersebut sembari menutup mata.

Theo mengerti akan isyarat yang dia lontarakan, segera saja pemain keyboard itu menyentuh tut-nya dengan pelan. Suara lembut bernada tinggi melengking mengikuti tiap jemarinya yang begitu piawai. Harmonisasi sendu menyentuh hati para penonton yang menebarkan tepuk tangan lalu kemudian terdiam menghayati.

Saat pemain keyboard mereka masih bermain solo, sang penggebuk drum Revan mengayunkan pedal drumnya dua kali sesuai tempo kala intro itu dimainkan. Nico yang memandangi mereka berdua dari depan mulai mengarahkan pengeras suara pada bibirnya. Sembari berbalik arah menatap penonton.

"Honey, can you take me to the sky? Can you take me away to our loving paradise? Because, all of our sins I can see tonight. With a bright star, I'm sure your heart is also shiny, sparkling, shiny, sparkling heart."

Dia mulai bernyanyi pelan dengan sepenuh hatinya. Bersamaan dengan itu bayang masa lalu saat mereka saling jumpa berpendar dalam ingatan.

Ya, satu persatu memori indah muncul menemaninya di atas panggung. Berawal dari pertemuan pertama mereka yang sudah di atur sempurna oleh Edward pada sebuah kafetaria kecil, di sudut kota, penuh dengan pepohonan rindang dan aroma khas dari hujan musim panas.

Kelopak mata yang mempesona ketika Tania mengedipkan mata ditambah dengan lekuk bibir yang selalu tersenyum menggoda jiwa. Membuat Nico segera jatuh hati akan pandangan pertama, bahkan Tania juga merasa begitu. Gadis bertubuh mungil dengan mata sipit itu segera melabuhkan cintanya pada si pria kurus bermata belo. Edward yang merasakan benih cinta mencoba untuk menghilang dan lenyap dalam tawa yang kedua insan itu keluarkan. Mencoba membiarkan mereka untuk saling mengenali satu sama lain.

Kala suara terakhir Nico lenyap, gebukan drum Revan menggila. Dia memukul tiga tom secepat yang dia bisa. Membuat suasana damai tadi berubah. Teriakan-teriakan penuh euforia memuncak kali ini, apalagi saat Edward mulai memainkan melodinya dengan teknik speed picking pada fret tujuh belas dan delapan belas secara bergantian.

Semua orang larut akan luar biasanya kemampuan gitaris yang telah mencapai posisi Shredder itu. Belum lagi solo bass yang Axel mainkan berhasil menggetarkan hati ribuan manusia ini.

"One day ... I see one girl walking in the park, she look's so perfect with her smile. With her face-"

Nico menyanyikannya dengan lantang. Membuat beberapa ratus orang di sana mengangkat-akat tangan mereka mencoba untuk selaras dengan irama yang dimainkan.

Kali ini ingatan kedua muncul saat hari resepsi pernikahan mereka, Nico tak bisa melupakan saat-saat bahagia itu. Terlalu banyak ingatan yang sebenarnya tidak bisa dia lupakan, namun kenangan saat di resepsi adalah hal yang paling melekat dalam ingatan. Karena pada hari itu mereka telah resmi menjadi suami istri, bersamaan dengan itu sebuah ciuman hangat pertama tercipta untuk pertama kalinya.

Bahkan setelah acara selesai kedua pengantin segera berlari ke ke ranjang cinta mereka, saling merebahkan badan dan menyentuh bagian sensitif masing-masing. Hingga semua kain lepas dari tubuh yang saling mengeluarkan desahan pelan.

Wajahnya tersipu ketika dia menyenandungkan bait “When I touch your body, forever and always.” Untuk menyudahi bagian lirik terakhir dari lagunya.

Benar-benar konser yang luar biasa, setiap orang menikmati akhir dari perjalanan lima pemuda itu. Hingga tanpa mereka sadari, desisan simbal yang dipukul lama oleh Theo mengakhiri lagu tersebut.

Seluruh keringat berceceran di mana-mana, suasana tadi terlalu panas dan terlalu menyesakan. Belum lagi atmosfer berat dan penuh ketidakwarasan menekan berat semangat para personil. Akan tetapi sekarang sudah berhenti, semua sensasi penghilang stres itu memudar kala mereka berlima mulai turun dari panggung dan berjalan menuju ruang ganti.

Nico menggeliat pelan, lalu mengambil jaketnya secepat mungkin. Seraya menyembunyikan sebuah benda yang terlihat seperti kotak hitam secepat mungkin ke dalam saku jaketnya. Sedangkan Edward yang tak sadar akan gelagat mencurigakan itu malah melemparkan dia sebuah botol minuman.

"Kita sukses besar," ucap Edward memperbaiki poninya.

"Ya, aku senang kita bisa mengakhiri perjalanan kita ini bersama-sama." Nico mengacungkan tangannya yang terkepal ke depan.

Empat orang lain mengetahui apa maksud dari kepalan tangan itu. Jadi, mereka segera berkumpul lalu meletakan kepalan lain di atas kepalan Nico.

"Aku akan pergi menemui Tania, sepertinya dia sudah menungguku di luar," ucap Nico bergegas melangkah ke pintu.

"Nic, semoga kau bahagia dengan hidup barumu." kata Edward yang terus saja tampak senang sekali.

"Aku akan bertemu dengan Tania, jadi sudah jelas aku akan bahagia Ed. Seharusnya kau katakan itu pada dirimu sendiri, bukannya Celia harus mencarikan ayahnya pekerjaan baru lagi?" goda Nico dari depan pintu.

"Haha, kau benar. Aku akan mencari pekerjaan baru setelah ini. Jadi dia tidak perlu khawatir lagi, katakan pada Tania kalau aku merindukannya!" teriakan Edward menggambarkan sebuah kerinduan yang jelas pada istri temannya itu.

Sudah lama saat mereka saling bertemu, sebagai orang yang mempertemukan mereka berdua Edward jelas mengetahui bagaimana jalan dari cinta kasih keduanya. Sudah pasti hubungan itu begitu harmonis sekali, kalau tidak mana mungkin pria yang begitu mencintai musik itu memilih untuk menghentikan karir musiknya yang sedang berada dipuncak popularitas.

Kini, Nico yang tengah melangkah seorang diri menapaki jalan beraspal. Dia mencoba untuk mendekati suara para penggemar yang menyerukan namanya dari balik tali pembatas. Sekejap dia berhenti sejenak, berbicara kepada para kamera yang menyiarkan acara hari ini kemudian menjauh mendekati seorang bodyguard. Percakapan terjadi diantara mereka, Nico meminta untuk membiarkan dia berjalan kaki saja ke rumah. Karena dia akan bertemu dengan istrinya yang sudah menunggu di jalanan depan, mungkin mereka akan menghabiskan malam sampai larut. Jadi tak perlu repot-repot untuk mengantarkannya. Sang pengawal mengangguk, kemudian membiarkan Nico melakukan apa yang dia inginkan. Setelah mengeratkan jaket beludrunya pria itu menjauh dari keramaian seorang diri.

Berjalan secepat mungkin untuk bertemu dengan sang istri yang mungkin lelah menanti. Dia melewati jalanan depan lalu bergegas melangkah ke arah perempatan, memandang redup cahaya lampu hijau nan masih enggan berganti merah. Tanpa dia sadari seorang pria berdiri dengan sebuah kameranya, memperhatikan setiap gerak-gerik Nico yang terpaku memandang langit malam.

“Tidak ada tanda-tanda kehadiran seorang perempuan yang menunggu orang lain di sana. Bahkan dari gelagat Nico pun dia juga tidak terlihat sedang menunggu seseorang, melainkan hanya menunggu lampu jalan itu berubah. Lantas di mana Tania menantinya?”

Setelah sekitar tiga puluh detik menunggu akhirnya dia melanjutkan perjalanan, bergerak ke kiri dari persimpangan. Matanya terkejut saat menemukan sebuah toko bunga di dekat sebuah mini market yang masih buka, tanpa sedikit curiga Nico masuk dan mampir sebentar ke sana. Seorang gadis menyambut dengan kedua tangan yang sedang memegang pot, dia membalas salam itu dengan senyuman. Lalu bergerak mendekati bunga-bunga indah tersebut. Matanya terhenti pada sebuah bunga mawar yang berwarna merah tua. Hingga menyebabkan timbulnya sebuah kenangan lain di mana terdapat darah di sana.

“Apa anda menyukainya?” tutur gadis itu dengan lembut.

“Ah, tidak juga. Aku hanya penasaran dengan warnanya yang hampir mirip dengan darah,” balas Nico menepis ingatan yang baru saja muncul itu.

“Mawar merah yang tidak biasa, bukan? Apa anda tahu kalau mawar merah itu bukan sekedar lambang dari cinta dan kebahagiaan?” Gadis itu menggapai bunga tersebut dan mengambilnya.

“Mawar merah yang pekat ini juga bisa dilambangkan dengan kematian. Karena selain warna yang menyerupai darah, dia juga sering diselipkan pada tangan seseorang yang meninggal dunia.” Gadis itu memberikan mawar tersebut kepada Nico yang mengerutkan keningnya.

“Kenapa kau memberikannya padaku?” ucap Nico keheranan.

“Anggap saja ini sebuah jimat untuk perjalananmu selanjutnya,” tepis gadis itu dengan menebar senyuman.

Nico sepertinya tidak paham dengan ucapan itu. Tapi karena dia terlanjur masuk ke sini, sungguh tidak lazim baginya untuk tidak membeli sesuatu. Karena sudah terlanjur, akhirnya pria itu meraih mawar tersebut sembari mengeluarkan uang di dalam saku celananya.

“Anda tidak perlu membayarnya, lagipula toko kami sebenarnya sudah tutup dari tadi. Karena beberapa barang ketinggalan, saya jadi harus buka lagi. Anggap saja itu sebuah pemberian dari seorang teman.” Gadis itu menolak dengan halus uang yang Nico berikan.

“Baiklah kalau begitu, terima kasih dan maaf menggangumu,“ sebutnya dengan sedikit membungkuk.

“Sama-sama, sebelum itu izinkan saya untuk berfoto dengan anda. Karena jarang sekali toko kecil kami kedatangan seseorang seperi anda, Nico.” Si gadis meraih ponselnya dan membuka kamera depan. Dia melangkah mendekati Nico untuk foto bersama.

Suara cekrekan terdengar beberapa kali, setelah itu si gadis menyimpan foto mereka dan kembali menjaga jarak.

“Terima kasih ya, foto ini akan saya pamerkan kepada teman-teman.”

“Apa kau salah satu fans kami?”

“Tidak juga, tapi ada beberapa teman saya yang begitu mengidolakan anda.”

“Saya dengar, konser tadi adalah konser anda yang terakhir. Kenapa bisa begitu?”

“Karena semua anggota sudah menemukan kehidupan mereka masing-masing.”

“Anda juga?”

“Ya, aku juga. Aku menyadari bahwa duniaku yang sebenarnya bukan di sini. Karena duniaku yang sebenarnya ada pada istriku sendiri.”

Keheningan terjadi beberapa saat, setelah itu semua akhirnya Nico meninggalkan toko bunga tersebut lalu melanjutkan perjalanannya. Meninggalkan gadis tadi yang tiba-tiba dihampiri oleh seorang pria dengan kamera pada tangan.

Merasa persiapannya cukup, Nico menapaki jalan ke arah hutan dengan melewati sebuah gang kecil. Lalu menyusuri rongga beraroma selokan itu hingga tembus pada sebuah lahan besar yang dikelilingi oleh beberapa pohon yang tampak sedikit mencekam.

Dia tetap saja melangkah pasti memasuki tempat gelap dengan aura mistis bertebaran di mana-mana, menelusuri tiap daun jatuh dari tiap pohon yang menghadang jalannya. Suara dari si penjaga malam yang memutar balik kepalanya hadir dan menjadi sebuah melodi pilu untuk wajah yang mulai berubah murung itu.

Sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, Ingatan bersama Tania muncul di dalam benak. Namun kenangan yang muncul kali ini begitu berbeda, tidak ada tawa, canda, ataupun cinta di dalamnya. Melainkan tangis sendu dan suara kesedihan yang enggan untuk berhenti. Ya, kali ini Nico malah teringat akan tragedi yang paling memilukan dalam hidupnya, kematian Tania.

Malam itu setelah kembali dari dokter kandungan, dia terbangun seorang diri di atas kasurnya. Mencoba mencari sosok Tania yang menghilang dari pangkuan dengan mata yang masih belum terbuka sempurna. Menyadari bahwa istrinya tak di situ, Nico berdiri lalu beranjak menuju ruang dapur. Sebuah gerakan tertangkap olehnya ketika masuk dan menemukan Tania sedang duduk berderai airmata.

Nico ingat betul akan setiap percakapan mereka malam itu, sebab malam itu adalah malam terakhir mereka saling bercengkrama berdua.

“Kau kenapa sayang?” ucap Nico mendekati Tania yang masih menekukan kepalanya.

Tidak ada respon dari gadis itu, hingga dia mencoba untuk mendekat agar bisa merangkul sang pujaan hati. Namun ketika akan melakukannya, Tania malah menghunuskan sebuah pisau kepada Nico.

“Jangan mendekat! Aku bilang jangan dekati aku!” pekiknya berurai tangis.

“Tan, kamu kenapa?” Nico mundur beberapa langkah dengan wajah pucatnya.

“Aku ini mandul Nic, kau tak seharusnya mencintai perempuan jahat sepertiku!” teriak Tania lagi.

“Tan, jangan bersikap seperti ini oke. Jauhkan pisaunya dan kita bicara baik-baik,” rapal Nico mencoba menenangkan.

Tapi Tania tak menghiraukannya, rasa sakit yang dia terima setelah mendengarkan vonis dari dokter itu telah menghancurkan dunianya. Ya, dunia yang begitu dia dambakan selama ini. Hidup bersama pria idaman dan anak tercinta mereka. Tapi semuanya sirna dalam sekejap mata, tak ada lagi harapan bagi Tania untuk meraih mimpinya itu. Hingga akhirnya ketidakwarasan datang dan mengerogoti batin yang tersiksa.

“Aku mencintaimu Tan, tak peduli meski kau tidak bisa melahirkan seorang anak untukku. Aku akan tetap mencintaimu,” sebut Nico yang mengerti akan emosinya.

“Aku juga mencintaimu Nico! Oleh karena itu aku ingin kau bisa menimang anak kita, mengajari dia main gitar dengan aku berada di sisi kalian berdua. Apa kau lupa dengan janji kita? Janji untuk mengajari buah hati kita cara untuk merangkak, berjalan, hingga sampai dia bisa bermain sepeda seorang diri? Apa kau lupa akan janji itu?!” sebut Tania putus asa.

Bagaikan sebuah cambuk yang menampar keras wajahnya, Nico terdiam mengingat perkataan sang istri. Tidak ada satupun kata yang bisa dia utarakan setelah Tania mengulang janji mereka di tengah keadaan genting itu.

“Kau tahu, kau sendiri yang membuat janji itu Nico.” Tania terisak menahan tangis.

“Kau sendiri yang begitu ingin kita memiliki seorang anak, agar cinta dalam hidup kita semakin sempurna. Tapi aku mengecewakanmu, aku ini benar-benar gadis yang tidak berguna. Aku takut kau benci padaku, Nico.”

“Aku tidak akan pernah membencimu Tan! Kau adalah wanita yang aku cintai, jadi mana mungkin aku bisa membenci wanita sepertimu. Kau memberikan aku dunia, kau memandangku sebagai manusia biasa. Bukan sebagai bintang rock yang selalu orang katakan. Jadi jangan pernah berpikir seperti itu, karena hanya kau satu-satunya duniaku.”

“Maafkan aku karena telah membuatmu jatuh cinta kepada orang sepertiku, mungkin ini akan menyakitkanmu. Tapi jika kau benar mencintaiku, maka kau harus merelakan setiap keputusanku sayang. Selamat tinggal Nicoku.” Pisau yang tadinya mengarah pada Nico kini berbalik menusuk jantung Tania sedalam mungkin.

Tak lama kemudian dia terjatuh, dan menghempas pada lantai keramik yang mulai bergelimangan darah. Nico berteriak histeris menatap tindakan bodoh sang istri yang rela mengakhiri nyawanya sendiri. Sembari berlari mengejar tubuh yang telah kehilangan nyawanya itu, dia memaki dirinya sendiri. Nico merasa menjadi orang yang tak berguna di atas dunia ini.

Tangannya melingkari badan dingin Tania yang bersimbah darah semalaman, bersamaan dengan itu pikiran-pikiran aneh bersarang di dalam benak. Dia berandai-andai jika saja dia bisa memundurkan waktu sedikit saja, atau andai saja dia bisa melihat masa depan. Mungkin semua ini tak akan terjadi, dan mungkin saja Tania akan terus hidup meski tak bersamanya.

Tapi Nico sadar tak ada gunanya larut dalam andai-andai yang sudah pasti tidak akan pernah terjadi. Lebih baik menerima fakta pahit daripada harus terus menghibur diri sendiri dengan angan yang tak pasti. Dia mencoba mengakui kematian sang istri, namun dia enggan untuk memberitahukan siapapun akan masalah tersebut. Karena itu dia menyembunyikan kasus bunuh diri Tania dalam kabut malam seorang diri.

Kematian sang istri itu meninggalkan luka terdalam, membuat dia menjadi seorang pembohong yang rela bersikap seolah semuanya terkendali dalam genggaman. Karena itu, Edward, Revan, Alex dan Theo tidak pernah menyadari apa yang terjadi dengan keluarga baru vokalis mereka.

Nico menghentikan langkah ketika dia sampai di depan pintu rumah, jemarinya menari dalam saku celana untuk merogoh kunci. Perlahan dia memasukan benda itu ke dalam lubang lalu berjalan menuju kamar, di dalam gelapnya ruangan yang dia masuki. Sosok gadis yang sedang memakai gaun pengantin telah menantinya dengan senyuman kaku.

Nico meraih benda hitam dalam jaketnya, mengeluarkan kotak itu dan merendahkan badan tepat di depan tubuh beku sang istri. Perlahan dia buka kotak tersebut lalu memasangkan sebuah cincin emas tepat di jemari dingin pujaan hatinya.

“Kau tahu sayang, mungkin sekarang saatnya untukku bertemu lagi denganmu.” Tangannya mengambil mawar merah tadi lalu menyelipkan bunga itu tepat pada telinga istrinya yang tidak bergerak.

Pria murung itu berdiri berjalan ke arah meja yang tak jauh dari sana, mengambil pulpen dan sebuah kertas lalu menuliskan sesuatu. Buliran air jatuh dari mata membasahi kertas, tapi Nico tak mempedulikannya. Dia tetap melanjutkan tulisan itu sampai selesai.

Sebuah revolver tua yang sedari tadi berada tepat di sebelah kiri tangannya kini dia raih, lalu berjalan mendekati Tania yang telah menantinya.

“Kau curang sayang, kau meninggalkanku sendirian di dunia ini. Tanpamu aku gila, tanpamu aku hilang, tanpamu aku bukan siapa-siapa. Jadi izinkan aku menyusulmu,” tutur Nico yang entah kenapa dia malah tersenyum saat mengarahkan senjata api itu pada kepalanya.

Suara tembakan menggema saat pelatuk ditarik, timah besi itu masuk dan menembus kepala Nico yang lansung terkapar pada pangkuan Tania. Darah menyiprat mengenai kertas yang dia tulis tadi, meskipun ternodai oleh warna merah yang merekah. Namun siapapun yang menemukannya pasti masih bisa membaca dan memaknai tulisan itu.

Benar saja, pria dari media cetak yang dari tadi membuntutinya mendengar suara letupan dari rumah Nico. Dia berlari sekuat tenaga ke depan pintu rumah. Kunci yang masih berada pada pintu seakan memberikannya akses untuk masuk. Secepat kilat pria itu berlari, menyusuri tiap ruangan hingga akhirnya tanpa sengaja dia menemukan jasad Nico dan istrinya Tania terkapar penuh darah dalam kamar gelap bercorak merah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Just For My Mom

Pria Pemburu